Gabah Rp 4.000/Kg, Petani Rembang Tetap Semangat Tanam Padi

Foto: Mentan Amran Sulaiman (Dok. Kementan)Foto: Mentan Amran Sulaiman (Dok. Kementan)

Jakarta - Blora dan Rembang, Jawa Tengah merupakan kawasan di Indonesia yang beriklim kering dan panas. Meski demikian, kawasan ini tidak sanggup dipandang sebelah mata. Etos kerja para petani di sini sungguh luar biasa.

Mereka terus bersemangat menanami setiap jengkal tanah yang ada, meski terbilang tidak luas. Selain itu, panen padi juga masih berlangsung.

Dalam keterangan tertulis dari Kementerian Pertanian, Selasa (6/3/2018), dikala ini Kabupaten Blora dan Rembang menjadi penghasil beberapa komoditas pertanian yang strategis, utamanya padi. Hal tersebut tak lepas dari dukungan pemerintah dalam membangun infrastruktur pendukung menyerupai irigasi, santunan sarana serta pengenalan hibrida di masyarakat.


Untuk Kabupaten Blora, panen contohnya dilakukan di Desa Nglangitan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora. Para petani memanen padi varietas Ciherang dan IR64 di lahan miliknya. Luasan lahan masing-masing memang tidak luas, berkisar 0,5 hingga 1 hektar. Produktivitasnya antara 5-7 ton GKP.

Sementara itu di Kabupaten Blora, panen contohnya berlangsung di Desa Keser, Kecamatan Blora Kota, dengan luasan lahan setiap petani sekitar 1 hektar. Jenis padi yang dipanen merupakan varietas IR64 dengan produktivitas 7 ton GKP.

Di Kabupaten Blora, sehabis panen, petani tidak menjual komoditasnya dalam bentuk gabah, melainkan beras. Harga beras berkisar Rp 8.000-8.500/kg. Berbeda dengan Blora, para petani di Kabupaten Rembang menjual komoditasnya dalam bentuk gabah, yakni seharga Rp 4.000/kg.

Seorang petani yang berhasil diwawancarai yakni Patmi (54). Patmi sedang menanami lahannya seluas 0,5 hektar, yang berada di Desa Karangsekar, Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang.


Bulan Februari 2018 lalu, Patmi telah memanen padinya. Dan kini giliran tanam padi dengan varietas IR64. Benih padi seharga 60.000/sak. Total yang dihabiskan sebanyak 5 sak. Sementara itu, pupuk yang dipakai yakni urea sebanyak 50 kg, dengan harga Rp 105 ribu.

Untuk satu kali animo tanam, penggunaan pestisida sebanyak 3 kali penyemprotan, dengan harga Rp 50 ribu. Sedangkan untuk pengairan, Patmi memanfaatkan pedoman sungai di sekitar sawah. Dari hasil bertani ini, Patmi tidak menyebut dengan sempurna berapa yang diperolehnya setiap panen.

"Lumayanlah," ujar Patmi.

Selain Patmi, perbincangan juga dilakukan dengan Mani. Mani juga berasal dari Desa Karangsekar, Kecamatan Karioli, Kabupaten Rembang. Jika Patmi sedang menanam sawahnya, Mani sebulan lagi sudah akan panen.

Seperti kebanyakan petani di sini, areal sawah yang dimiliki Mani juga tidak luas, sekitar 0,5 hektar. Namun lahan ini yang memberi penghidupan bagi keluarga Mani.

"Paling tidak hasil lahannya antara 2-3 ton gabah," ungkapnya.

Sebagian gabah disimpan untuk kebutuhan sendiri, sebagian dijual ke penggilingan gabah di desanya. Dari hasil penjualan, selain untuk menyekolahkan kedua anaknya dan makan sehari-hari, kelebihannya dibelikan hal-hal yang diperlukan menyerupai motor dan sapi.

Bagi lelaki berusia 52 tahun ini, menjadi petani yakni takdir Ilahi. Ia tidak banyak mengeluh, selalu menjalani acara taninya dengan riang. Sama halnya dengan Patmi, tawa riang Mani juga menjadi epilog cantik dialog singkat kami.
Sumber detik.com

Comments

Popular posts from this blog

Kriteria dan Cara Pemilihan Bibit KAKAO Unggul Berkualitas Tinggi

Panen Lebih Awal, Kementan Optimistis Pasokan Beras Cukup

Tips Okulasi kelengkeng Sendiri Sampai Pemilihan Bibit yang baik